SHAFWATU AL-TAFASIR TAFSIR LI AL-QURAN AL KARIM
(Karya : Muhamad Ali Al Shabuni)

A. BIOGRAFI
Bersama Syekh Yusuf al-Qaradlawi, Syekh Ali al-Shabuni ditetapkan sebagai Tokoh Muslim Dunia 2007 oleh DIQA.Nama besar Syekh Muhammad Ali al-Shabuni begitu mendunia.Beliau merupakan seorang ulama dan ahli tafsir yang terkenal dengan keluasan dan kedalaman ilmu serta sifat wara-nya.nama lengkap beliau adalah Muhammad AliIbn Ali Ibn Jamil al-Shabuni. Beliaudilahirkan di Madinah pada tahun 1347 H/1928 M alumnus Tsanawiyah al-Syari’ah.Syekh al-Shabuni dibesarkan di tengah-tengah keluarga terpelajar.Ayahnya, Syekh Jamil, merupakan salah seorang ulama senior di Aleppo.Ia memperoleh pendidikan dasar dan formal mengenai bahasa Arab, ilmu waris, dan ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan langsung sang ayah. Sejak usia kanak-kanak, ia sudah memperlihatkan bakat dan kecerdasan dalam menyerap berbagai ilmu agama. Di usianya yang masih belia, Al-Shabuni sudah hafal Alquran.Tak heran bila kemampuannya ini membuat banyak ulama di tempatnya belajar sangat menyukai kepribadian al-Shabuni.
Guru-gurunya
Salah satu guru beliau adalah sang ayah, Jamil al-Shabuni. Ia juga berguru pada ulama terkemuka di Aleppo, seperti Syekh Muhammad Najib Sirajuddin, Syekh Ahmad al-Shama, Syekh Muhammad Said al-Idlibi, Syekh Muhammad Raghib al-Tabbakh, dan Syekh Muhammad Najib Khayatah.
Aktivitas Pendidikan
Untuk menambah pengetahuannya, al-Shabuni juga kerap mengikuti kajian-kajian para ulama lainnya yang biasa diselenggarakan di berbagai masjid.Setelah menamatkan pendidikan dasar, al-Shabuni melanjutkan pendidikan formalnya di sekolah milik pemerintah, Madrasah al-Tijariyyah. Di sini, ia hanya mengenyam pendidikan selama satu tahun. Kemudian, ia meneruskan pendidikan di sekolah khusus syariah, Khasrawiyya, yang berada di Aleppo. Saat bersekolah di Khasrawiyya, ia tidak hanya mempelajari bidang ilmu-ilmu Islam, tetapi juga mata pelajaran umum.Ia berhasil menyelesaikan pendidikan di Khasrawiyya dan lulus tahun 1949.Atas beasiswa dari Departemen Wakaf Suriah, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Mesir, hingga selesai strata satu dari Fakultas Syariah pada tahun 1952. Dua tahun berikutnya, di universitas yang sama, ia memperoleh gelar magister pada konsentrasi peradilan Syariah (Qudha asy-Syariyyah). Studinya di Mesir merupakan beasiswa dari Departemen Wakaf Suria.
Selepas dari Mesir, al-Shabuni kembali ke kota kelahirannya, beliau mengajar di berbagai sekolah menengah atas yang ada di Aleppo. Pekerjaan sebagai guru sekolah menengah atas ini ia lakoni selama delapan tahun, dari tahun 1955 hingga 1962.Setelah itu, ia mendapatkan tawaran untuk mengajar di Fakultas Syariah Universitas Umm al-Qura dan Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz. Kedua universitas ini berada di Kota Makkah.Ia menghabiskan waktu dengan kesibukannya mengajar di dua perguruan tinggi ini selama 28 tahun.Karena prestasi akademik dan kemampuannya dalam menulis, saat menjadi dosen di Universitas Umm al-Qura, al-Shabuni pernah menyandang jabatan ketua Fakultas Syariah.Ia juga dipercaya untuk mengepalai Pusat Kajian Akademik dan Pelestarian Warisan Islam. Hingga kini, ia tercatat sebagai guru besar Ilmu Tafsir pada Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz.
Di samping mengajar di kedua universitas itu, Syekh al-Shabuni juga kerap memberikan kuliah terbuka bagi masyarakat umum yang bertempat di Masjidil Haram.Kuliah umum serupa mengenai tafsir juga digelar di salah satu masjid di Kota Jeddah.Kegiatan ini berlangsung selama sekitar delapan tahun.Setiap materi yang disampaikannya dalam kuliah umum ini, oleh al-Shabuni, direkam-nya dalam kaset.Bahkan, tidak sedikit dari hasil rekaman tersebut yang kemudian ditayangkan dalam program khusus di televisi. Proses rekaman yang berisi kuliah-kuliah umum Syekh ash-Shabuni ini berhasil diselesaikan pada tahun 1998.

Aktivitas Organisasi
Di samping sibuk mengajar, al-Shabuni juga aktif dalam organisasi Liga Muslim Dunia. Saat di Liga Muslim Dunia, ia menjabat sebagai penasihat pada Dewan Riset Kajian Ilmiah mengenai Al-Qur’an dan Sunnah. Ia bergabung dalam organisasi ini selama beberapa tahun. Setelah itu, ia mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk menulis dan melakukan penelitian.Salah satu karyanya yang terkenal adalah “Shafwah al-Tafaasir”. Kitab tafsir Al-Qur’an ini merupakan salah satu tafsir terbaik, karena luasnya pengetahuan yang dimiliki oleh sang pengarang. Selain dikenal sebagai hafiz Al-Qur’an, Al-Shabuni juga memahami dasar-dasar ilmu tafsir, guru besar ilmu syariah, dan ketokohannya sebagai seorang intelektual Muslim.Hal ini menambah bobot kualitas dari tafsirnya ini.
Pemikiran dan karya-karya
Beliau adalah sosok ulama mufasir yang kreatif, menulis beberapa tentang tafsir, diantaranya :
1. Rawa’I al-Bayan fi Tasair Ayat al-Ahkam min Al-Qur’an
Kitab ini mengandung keajaiban tentang ayat-ayat hokum didalam Al-Qur’an. Kitab ini dalam dua jilid besar, ia adalah kitab terbaik yang pernah dikarang perihal soal ini, sebab dua jilid ini, telah dapat menghimpun karangan-karangan klasik dengan isis yang melimpah ruah serta ide dan fikiran yang subur, stu pihak dan karangan-karangan modern debgan gaya yang khas dalam segi penampilan, penyususnan, dan kemudian uslub dipihak lain
Selain itu, M. Ali al-Shabuni telah Nampak keistimewaannya dalam tulisan ini tentang keterusterangannya dan penjelasannya dalam menetapkan keobjektifan agama Islam mengenai pengertian ayat-ayat hokum, dan tentang sanggahannya terhadap dalil-dalil beberapa orang musuh Islam yang menyalahgunakan penanya dengan mempergunakan dirinya dengan menyerang Nabi Muhammad saw., dalam hal pernikahan beliau dengan beberapa orang istri (poligami). Dalam hubungan tersebut, pengarang kitab ini telah mengupas hikmah poligami dengan mendasarkan kupasannya kepada logika dan rasio, ditinjau dari beberapa segi juga dikupasnya masalah “hijab” (penutup badan bagi wanita), serta menyanggah dalam persoalan ini pendapat orang yang memperkenankan seorang wanita menampakan tangannya dan wajahnya dihadapan orang-orang lelaki yang bukan muhrim dengan alas an bahwa tangan dan wajah wanita tidak termasuk aurat. Beliau mengulangi pembahasan tersebut, ketika beliau membahas soal “hijab”. Beliau menolak pergaulan anatara lelaki dan perempuan bukan muhrim, dan mengambil bukti terhadap kebatilan pendapat-pendapat para pembela pergaulan bebas tersebut, dari keterangan keterangan tokoh-tokoh Barat sendiri dengan menambahkan pendapat-pendapat yang benar tentang terlarangnya pergaulan antara laki-laki dengan perempuan
2. Al-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Pengantar Studi Al-Qur’an)
Awal mulanya, buku ini adalah diktat kuliah dalam Ilmu Al-Qur’an untuk para mahasiswa fakultas Syari’ah dan Dirosah Islamiyah di Makkah al-Mukarramah, dengan maksud untuk melengkapi bahan kurikulum Fakultas serta keperluan para mahasiswa yang cinta kepada ilmu pengetahuan dan mendambakan diri dengan penuh perhatian kepadanya
3. Para Nabi dalam Al-Qur’an
Judul aslinya yaitu; al-Nubuwah wa al-Anbiya. Berbeda dengan buku yang sudah ada (sebagai) buku terjemahan, buku ini dikemas secara ringkas, lantaran karya ini merupakan sebuah karya saduran dari sebuah kitab berbahasa Arab yang ditulis oleh M. Ali ali al-Shabuni .
4. Qabasun min Nur Al-Qur’an (cahaya al-Qur’an)
Judul asli buku ini dalam bahasa Arabnya adalah; Qabasun min Nur Al-Qur’an dan diterjemahkan oleh Kathur Suhardi kedalam bahasa Indonesia menjadi; Cahaya Al-Qur’an. Kitab tafsir ini, diantaranya disajikan ayat-ayat Al-Qur’an dari awal hingga akhir secara berurutan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Sehingga pola ini memeberikan kemaslahatan tesendiri yang tidak didapatkan di kitab-kitab tafsir lain.adapun bentuk penyajiannya ialah ayat-demi ayat atau beberapa ayat yang terangkum dalam satu kelompok maknanya dan tema, yang karena itulah kitab ini disebut tafsir tematik. System penyusunan kitab ini serupa dengan kitab Shafwah al-Tafasir. Keseluruhan kitab Qabasun Min Nur Al-Qur’an ini terdiri dari delapan jilid yang edisi Indonesia atau terjemahannya juga mengikuti kitab aslinya yang berbahasa Arab
Menurut kathur Suhardi, al-Sahabuni telah mengkompromikan antara atsar orang-orang salaf dan ijtihad orang-orang khalaf sehingga tersaji sebuah tafsir al-Ma’qul wa al-Ma’tsur, begitulah menurut istilah mereka, dan memeberikan berbagai hakikat yang menarik untuk disimak. Dengan begitu pembaca bisa melihat dua warna secara bersamaan.
5. Shafwah al-Tafasir
Salahsatu tafsir al-Shabuni yang paling popular adalah Shafwah al-Tafasir, kitab ini terdiri dari tiga jilid didalamnya menggunakan metode-metode yang sederhana, mudah dipahami, dan tidak bertele-tele (tidak menyulitkan para pembaca).
Ali al-Shabuni, telah merampungkan tafsir ini (Shafwah al-Tafasir), secara terus menerus dikerjakannya non-stop siang malam selama lebih kurang menghabiskan waktu kira-kira lima tahun, dia tidak menulis sesuatu tentang tafsir sehingga dia membaca dulu apa-apa yang telah ditulis oleh para mufasir, terutama dalam masalah pokok-pokok kitab tafsir, sambil memilih mana yag lebih relevan (yang lebih cocok dan lebih unggul).
Shafwah al-Tafsir merupakan tafsir ringkas, meliputi semua ayat A-Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam judul kitab :Jami’ baina al-Ma’tsur wa al-Ma’qul. Shafwah al-Tafasir ini berdasarkan kepada kitab-kitab tafsir terbesar seperti al-Thabari, al-Kasysyaf, al-Alusi, Ibn Katsir, Bahr al-Muhith dan lain-lain dengan uslub yang mudah, hadits yang tersusun ditunjang dengan aspek bayan dan kebahasaan.
Al-Shabuni mengatakan dalam pendahuluan tafsirnya, tentang penjelasan tujuan ditulisanya kitab ini, menurutnya ‘apabila seorang muslim terpesona kepada masalah-masalah duniawi tentu waktunya akan disibukan hanya untuk menghasilkan kebutuhan hidupn saja hari-harinya sedikit waktu untuk mengambil sumber referensi kepada tafsir-tafsir besar yang dijadikan referensi ulama sebelumnya dalam mengkaji kitab Allah Ta’ala, utuk menjelaskan dan menguraikan maksud ayat-ayatnya, maka diantara kewajiban ulama saat ini adalah mengerahkan kesungguhannya untuk mempermudah pemahaman manusia pada Al-Qur’an dengan uslub yang jelas. Bayan yang terang, tidak terdapat banayak kalimat sisipan yang tidak perlu, tidak terlalu panjang, tidak mengikat, tidak dibuat-buat, dan menjelaskan apa yang berbeda dalam Al-Qur’an yaitu unsure keindahan ‘Ijaz dan Bayan bersesuaian dengan esensi pemb9caraan, memenuhi kebutuhan pemuda terpelajar, yang haus untuk menambah ilmu pengetahuan Al-Qur’an al-Karim’.
Kata al-Shabuni, ‘saya belum menemukan tafsir al-Kitabullah ‘Azza Wajalla yang memenuhi kebutuhan dan permasalahannya sebagaimana disebutkan diatas dan menarik perhatian (orang) mendalaminya, maka saya terdorong untuk melakukan pekerjaan penyusunan ini. Seraya memohon pertolongan Allah al-Karim saya berinama kitab ini :“Shafwah al-Tafasir” karena merupakan kumpulan materi-materi pokok yang ada dalam tafsisr-tafsir besar yang terpisah, disertai ikhtisar, tertib, penjelasan dan bayan’.
Adapun karya yang lainnya adalah :Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, Mukhtashar Tafsir al-Thabari, Jammi al-Bayan, al-Mawarits fi al-Syari’ah al-Islamiyah ‘ala Dhau al-Kitab dan Tanwir al-Adham min Tafsir Ruh al-bayan

B. DESKRIPSI UMUM KITAB TAFSIR SHAFWATU AL-TAFASIR
1. Latar Belakang Penulisan
Sebuah karya, apapun jenisnya termasuk kitab tafsir dalam masa pembuatannya, pasti tidak dapat dimungkiri dari aspek kultur-sosial yang mengelilinginya.Hal itu yang sering menjadi latar dari terciptanya karya tersebut.Ada beberapa faktor yang mendasari dari lahirnya buah karya dari tangan-tangan telaten; permasalah jaman/kebutuhan pasar, pesanan penguasa, tuntutan ilmiah, eksplorasi murni dan lain sebagainya.Latar semacam ini yang mempengaruhi sebuah karya berorientasi sekaligus memberikan pancaran nilai yang dikandung. Pada tahun 1930 lahir sebuah karya tafsir dari tangan seorang ilmuwan kelahiran Aleppo yang menambah deretan khazanan ke-ilmu-an ke-Islam-an, yaitu “Shafwah Al Tafasir” yang disusun selama kurang lebih lima tahun sekaligus memberi kesan tersendiri bagi para sebagian kalangan ulama dan para pemerhati lainnya. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya karya yang dilahirkan Al Shabuni ini juga memiliki latar yang memberikan warna terhadap alur fikirannya dlam menafsirkan Al-Quran. Dari data yang didapat mengenai latar belakang penyususnan kitab ini beliau menyebutkan :
 Mengikuti uswah ulama salaf yang menulis karya untuk menjunjung kalimatullah hiya al-‘ulya, member pemahaman terhadap kebutuhan umat dalam memahami agama.
 Keberadaban Al-Quran itu sendiri yang kekal dengan penuh keajaiban-keajaiban, penuh dengan mutiara-mutiara kehidupan, senantiasa memicu akal untuk “bermain”, membuat hati resah jika tidak mengkajinya;
 Kenyataan semua ilmu akan hilang dimakan jaman, kecuali ilmu Al-Quran akan tetap membuka ruang yang luas untuk dikaji bak hamparan lautan yang memerlukan penjabaran dari kalangan ahli ilmu (ulama) dengan kapasitas yang memadai guna untuk mengeluarkan manisnya kandungan Al-Quran;
 Umat muslim lebih disibukan dengan urusan dunia, sedikit sekali hari-hari mereka yang dipergunakan untuk mengkaji kitab-kitab tafsir terutama kitab-kitab tafsir induk, sementara kewajiban ulama tetap mesti menjadi jembatan bagi pemahaman umat terhadap Al-Quran dengan memberikan kemudahan dalam mengkajinya;
 Belum terdapat kitab tafsir pada masanya yang dapat memenuhi hajat umat, memicu semangat mereka.
Dari pemaparan beliau diatas nampaknya kita bisa melihat bagaimana sosio masyarakat yang ada ketika beliau menciptakan kitab tafsir ini. Jelas siapa yang menjadi sasaran serta bagaiman respon tafsirnya terhadap laju kultur dan kebutuhan lingkungan masyarakat dimana beliau berada.
2. Penamaan Kitab
Penamaankitab tafsirnya ini tidak luput daripada latar dan tujuan beliau menghadirkan karyanya ini. Beliau memberi nama untuk karya tafsir keduanya ini dengan nama “Shafwah al-Tafasir”. Shafwah artinya Pilihan dari segala sesuatu, sahabat karib, dan yang sedikit ; dan al-Tafasir maknanya Tafsir-tafsir/penjelasan-penjelasan . Jadi dapat dimaknai bahwa nama kitab tafsir ini adalah tafsir-tafsir/penjelasan-penjelasan pilihan, yang akrab bila dibaca/dikaji dan tidak terlalu melebar pembahasannya akan tetapi langsung pada tujuan inti. Hal ini sebagaimana diungkapkan diatas, bahwa kitab tafsir ini diwarnai latar belakang dan tujuan kehadirannya.
3.Tujuan
Sudah barang tentu mempunyai faidah yang sangat tinggi dan berkedudukan mulia yang menjadi tujuan dari penulisan kitab ini.Kita bisa melihat dari kata sambutan yang terdapat dalam muqodimah kitab ini, tidak lebih dari tujuh ulama dan delapan termasuk beliau yang memberikan kata pengantar atau prolog. Sampai sekarang baru dapat diasumsikan hal-hal yang menjadi tujuan dari penulisan Shafwah Al Tafaasir ini :
 Memeberikan pemaparan dan penjelasan dengan memepermudah gaya penyampaiannya
 Memberikan faidah berupa jawaban-jawaban terhadap realita umat pada masanya
 Untuk memotivasi umat pada masanya yang cenderung kurang memperhatikan turats khazanah intelektual muslim dan pola hidup yang cenderung hedonis
 Secara penyajian kitab, shafwah dihadirkan sebagai penyeimbang untuk karyanya yang lain yaitu Rowa’i al-Bayan
 Al-Shabuni punya ciri khas dalam menafsirkan ayat, hampir disetiap kelompok ayat beliau selalu memebubuhkan kata faidah. Kata ini sebagai kata kunci sehubungan dengan ayat yang dibahas, selain tujuannya untuk membangun akhlaq (tasawuf akhlaqi).
4.Gaya Pembahasan/sistematika penulisan
Untuk memepermudah dari apa yang menjadi tujuan beliau dalam upaya memberi pencerahan dalam pemecahan permasalahan jaman maka gaya pembahasan yang beliau lakukan yaitu melalui tahapan-tahapan metode. Yaitu :
 Mengumpulkan dan meng-intisari kitab-kitab tafsir induk serta mengambil argument yang paling shahih
 Menyusun kategorisasi ayat-ayat untuk menjelaskan tiap-tiap permasalahan dalam surat dan ayat
 Menafsirkan kandungan surat secara ijmali seraya menjelaskan maksud-maksudnya yang mendasar
 Membahas munasabah antar ayat sebelum dan sesudahnya
 Menjelaskan aspek kebahasaannya secara etimologi dan menjelaskan perbandingannya dengan pendapat ahli Bahasa Arab
 Menjelaskan Sabab al Nuzul
 Menjelaskan gaya bahasanya (balaghah)
 Menjelaskan faidah-faidah dan hikmah-hikmah surat dan ayat
 Memberikan istinbath

Berikut ini langkah-langkah penafsiran Ali al-Shabuni terhadap ayat-ayat pada beberapa surat dalam Al-Qur’an yang berisi kandungan tentang tema-tama penting dalam kehidupan khususnya berkenaan dengan konsep sosio;ogis suatu umat atau masyarakat dalam interaksinya dengan Allah, manusia, dan alam. Dalam penyajian contoh gaya pembahasan Ali al-Shabuni dalam Shafwah, penulis hanya membatasiempat surat saja, yaitu : QS. Ali Imran ayat 75-80, QS. An-Nisa ayat 1-10, QS. Al-Hujurat ayat 13-18, dan QS al-Baqarah ayat 21-25. Ke empat surat diatas, dipandang mewakili gambaran gaya penafsiran beliau.

a. Pengelompokan ayat dalam satu surat (QS. Ali Imran ayat 75-80)
Surat Ali Imran aayat 75-80 dikelompokan oleh M. Ali al-Shabuni dalam satu tema karena memiliki pembahasan yang sama dan saling berkaitan diantara ayatnya. Pada ayat 75-80 berisi aspek norma-norma akhlaq dalam hubungan sosial yang dibagi kedalam dua tema , yaitu : ayat 75-78 tentang karakterisitk sosial orang Yahudi yang negatif, dan ayat 79-80 adalah kaarakteristik sosial seorang Nabi yang positif. Terdapat aspek hukum pada ayat 75 adalah memakan harta rampasan. (jizyah) dengan paksa hukumnya tidak halal. Sedangkan aspek balaghah pada ayat 75-80 adalah : i’jaz, Isti’arah, majaz dan badi’ jinas. Al-Shabuni dalam penafsirannya selalu dimulai al-Munasabah, al-Lughah, asbab al-Nuzul, al-Balaghah, dan lain-lain. Bahkan terkadang dari salahsatu argumennya ada yang tidak disebutkan. Hal ini dapat dilihat dari gaya penulisannya dibawah ini.
b. Al-Munasabah
Menurut al-Shabuni dalam kelompok ayat sebelumnya yaitu ayat 64-74 Allah swt menceritakan sikap Ahli Kitab terhadap orang Islam dan tentang keburukan-keburukan Ahli Kitab, kekotoran, dan tipu muslihat mereka. Allah swt menjelaskan dalam ayat 75-78 dengan menyebutkan sebagian sifat-sifat Yahudi seperti pengkhianatan mereka dalam dua hal; harta dan agama. Mereka telah mengkhianati Allah dan manusia dengan pemutar balikan dan pencemoohan mereka terhadap kalam dari segi maknanya, dengan menganggap halal memakan harta manusia secara bathil. Sementara dalam ayat 79-80, Allah menjelaskan sifat-sifat baik Nabi Muhammad saw sebagai kebalikan darei sifat-sifat buruk Ahlul Kitab seperti mengajak manusia menjadi generasi rabbaniy dan menyeru bertauhid kepada Allah swt. Uraian tersebut dijelaskan oleh kelompok ayat berikutnya yaitu oleh ayat 81-90 yang menginformasikan tentang janji para Nabi kepada Allah terhadap kenabian Muhammad saw. Berikut ini uraian M. Ali al-Shabuni tentang munasabah antar ayat.
• Tema : keburukan-keburukan Yahudi (ayat 75-78) pada ayat 75, Allah menjelaskan sifat-sifat orang Yahudi :

Pada ayat 75, Allah menjelaskan sifat-sifat orang Yahudi :
“Diantara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak dikembalikannya kepadamu (yaitu orang Yahudi ketika dipercayakan kepadanya harta yang banyak”, dikembalikannya kepadamu harta yang diamanatkan kepadanya), seperti Abdullah Ibnu Salam, ia telah dititipi mata uang sebesar seribu ons perak.

“Dan diantara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepada satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu” (diantara mereka ada yang tidak menjalankan amanat atas dinar tersebut, seperti Fankhash Ibnu Azura yang diamanati mata uang, ia menyia-nyiakan), jika kamu selalu menagihnya. Hal ini seperti bunyi ayat :

“yang demikian itu lantaran mereka mengatakan : ‘tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummiy” (sesungguhnya mereka lalim dengan cara berkhianat, mereka mengaku bahwa Allah membolehkan mereka terhadap harta kaum ummiy yaitu orang Arab. Diriwayatkan bahwa orang Yahudi berkata : “kami anak Allah yang dikasihani-Nya, dan dia menciptakan abid atau hamba sahaya untuk kami, tidak ada seorangpun menahan demi memakan harta abid-abid kami”.

Diriwayatkan bahwa mereka berkata : “sesungguhnya Allah membolehkan kami (memakan) harta yang didapat dari sesuatu yang bertentangan dengan agama kami”.

“mereka berkata dusta kepada Allah, padahal mereka mengetahui”. (yaitu mereka membohongi Allah dengan pengakuan mereka. Mereka mengetahui bahwa mereka orang-orang berdusta tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummiy. Nabiyyullah saw bersabda :
“Musuh-musuh Allah telah berdusta tidak ada sesuatupun pada jaman jahiliyyah kecuali dua perkara amanat yang menyampaikan sesuatu kepada kebaikan dan amanat yang menyampaikan sesuatu kepada keburukan”.
Kemudian pada ayat 76 Allah memilih orang yang bertaqwa daripada orang Yahudi :
“(bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuatnya dan bertaqwa, maka sesuangguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa” (yaitu bukan sebagaimana mereka duga dalam dalihnya, tetapi sebenarnya sebagian mereka dikategorikan berdosa walaupun sesebaliknya sebagian lainnya ada yang melaksanakan amanat dan beriman kepada Nabi Muhammad saw juga bertaqwa kepada Allah swt yaitu menjauhi larangan-Nya, maka dengan demikian Allah menyukai dan memuliakan sikap seperti ini yang dilakukan mereka. Sebaliknya Allah membalas dengan balasan yang setimpal dengan perbuatan manusia itu sendiri yang tidak bertaqwa seperti pada ayat 77.

“sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit”, (yaitu mengganti janji mereka yang telah diikrarkan untuk membenarkan Nabi Muhammad saw dengan janji palsu yakni menukar janji dengan harta duniawi yang tidak kekal, rendah dan cepat habis).

“Mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala diakhirat)”. Mereka tidak mendapat bahagian yaitu rahmat Allah swt.

“Dan Allah tidak berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat”, (tidak akan mengajak berkata-kata kepada mereka) dengan perkataan yang lemah dan lembut, tidak akan melihat mereka dengan pandangan kasih sayang pada hari kiamat).

“Dan tidak akan pula mensucikan mereka. Bagi mereka adzab yang pedih”, (tidak akan membersihkan dosa-dosa mereka yang membahayakan bagi mereka adzab yang menyakitkan atas maksiat yang mereka perbuat).

Sifat-sifat buruk lainnya yang diperbuat Yahudi tergambar pada ayat 78 : “Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca al-Kitab”, (diantara orang Yahudi ada sekelompok yang memalingkan/membelokan lidahnya pada saat membaca al-Kitab untuk memutar balikan makna firman Allah dengan mentakwilkan yang tidak sesuai dengan maksud Allah dengan sebenarnya).

“Supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari al-Kitab padahal bukan dari al-Kitab”, (supaya kamu menyangka bahwa pemutar balikan tersebut adalah akalam Allah, sebenarnya perkataan tersebut adalah kesesatan dan kebohongan).

“Dan mereka mengatakan ‘ia yang dibaca itu datang dari sisi Allah’, padahal ia bukan dari sisi Allah”. (mereka menghubungkan pemutarbalikan makna yang mereka buat tersebut kepada Allah dan hal tersebut merupakan kebohongan kepada Allah sedang mereka mengetahui. sesungguhnya mereka berdusta dan memfitnah kepada Allah). Allah swt berfirman : “Ditolak pengakuan orang Nashrani ketika mereka berdalih bahwa Isa memerintah mereka supaya menyembahnya”))

Sifat Nabi Muhammad berbeda dengan sifat Yahudi sebagaimana pembahasan pada sub berikutnya.

• Tema : Seorang Nabi tidak akan menyuruh manusia menyembah dirinya

Pada ayat 79, terdapat sifat-sifat Rasul saw yang perlu dicontoh, firman Allah swt :
“Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian”, (tidak pantas dan tidak mesti dari seorang manusia yang diberi oleh Allah al-Kiab, al-Hikmah dan kenabian)
Dalam ayat diatas, secara implisit Allah menjelaskan bahwa Rasulullah saw seorang manusia yang tidak egois
“Lalu dia berkata kepada manusia : ‘hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. (kemudian berkata kepada manusia sembahlah oleh kalian aku selain Allah, dan nafi dalam sighat (ما كان) merupakan nafi’ ‘am(umum) yang tidak memperkanankan tetap atau kuat sedangkan tujuannya adalah tidak betashawur (berfikir rasional) kedudukan akalnya, yaitu akal dalam timbulnya pengakuan terhadap ketuhanan dari Nabi sekalipun, yang telah dianugerahi Allah sifat kenabian, dan syari’ah lebih utama dihasilkan dengan usaha atau perbuatan. Karena Rasulullah saw merupakan mediator antara Allah dan makhluk-Nya untuk memberi petunjuk pengabdian kepada Allah bagaimana mungkin seseorang mengajak manusia beribadah kepada dirinya? Akan tetapi ia berkata (ولكن كونوا ربّانيين) “hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbaniy, tetapi ia berkata kepada manusia ‘jadilah kamu orang-orang Rabbaniy”. Ibnu Abbas berkata : “Maksud dari istilah Rabbaniy adalah, ahli hikmah, ulama, dan orang-orang pemurah dengan makna ‘saya tidak mengajak kamu untuk menjadi hambah yang beribadah kepadaku, tetapi saya mengajak kamu agar menjadi ulama fuqoha yang taat kepada Allah”.

“Karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap memepelajarinya”. (dengan pengajaranmu kepada manusia tentang al-Kitab).
Penjelasan sifat-sifat Rasulullah tersebut dilanjutkan pada ayat 80 :
“Dan (tidak waib pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan para Nabi sebagai Tuhan”. (tifak ada baginya menyuruhmu beribada kepada selain Allah yaitu kepada para Malaikat dan para Nabi karena dakwah para Nabi yang paling pokok adalah mengajak kepada Allah dengan ikhlas beribadah kepadan-Nya).

“Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran diwaktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” (apakah pantas Nabimu menyuruhmu kepada suatu kekufuran dan mendustakan ke-Esaan Allah, setelah kamu masuk Islam dan masuk kepada agama Allah? Kalimat tanya tersebut istifham inkariy ta’jibiy yakni penolakan Allah swt atas orang-orangg Yahudi dan Nashrani yang telah memutarbalikan fakta dan kebenaran.

c. Al-Lughah (Bahasa)
(قنطار) artinya harta yang banyak, (قا ئما) artinya tetap atau terus menerus mencari harta (الامنينين) maksudnya orang Arab. Kata (المى) asalnya adalah mengandung arti yang tidak dapat membaca dan tidak dapat menulis, dan orang Arab pun demikian (ينوون) dari kata (لويت يده اذا فتلته) yaitu berputar dan memalingkan, maksudnya “aku melintirkan tangannya ketika aku memalingkannya”. Maksud lafdz diatas bahwa mereka memalingkan atau memutarbalikan lidah dari ayat-ayat yang turun kepada pernyataan yang terbalik dari maksud ayat yang sesungguhny. (من خلاق) tidak ada bagian bagi mereka dari rahmat Allah, (ربّانيّين) jamak dari (ربّانى) disandarkan kepada Tuhan, al-Thabariy berkata makna lafdznya adalah “jadilah ahli hikmah (fikir) dan ‘ulama

d. Asbab an-Nuzul
Surat Ali Imran ayat 75-80 turun berkenaan dengan pengaduan kepada Rasulullah tentang pengaduan orang Yahudi yang mengambil harta rampasan perang yang dimiliki kaum muslimin. Sedang Rasulullah sebagai figur seorang Nabi dan pemimpin masyararakat di Madinah yang memiliki sifat-sifat positif.
Dari al-Asyats Ibnu Qis berkata : “diantaraku dan diantara orang Yahudi ada bumi maka mereka mendustakan saya, kemudian saya mengadukannya kepada Nabi saw kemudian beliau bertanya kepadaku apakah kamu punya bukti-hujjah?, saya menjawab ‘tidak’, kemudian beliau berkata kepada Yahudi, ‘bersumpahlah’. Saya berkata ‘apabila disumpah, maka ia akan membawa pergi harta saya”.
Karena dakwah Rasulullah saw yang paling pokok adalah mengajak kepada Allah swt dengan ikhlas beribadah kepada-Nya.
“Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran diwaktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” (apakah pantas Nabimu menyuruhmu kepada suatu kekufuran dan mendustakan ke-Esaan Allah, setelah kamu masuk Islam dan masuk kepada agama Allah? Kalimat tanya tersebut istifham inkariy ta’jibiy yakni bentuk pertanyaan dan penolakan yang mengagetkan.

e. Al-Balaghah
Ayat 75-80 surat Ali Imran diatas mengandung aspek keindahan dalam teknik pengungkapan maksud-maksud tertentu dalam penafsiran al-Shabuni.
1. (ذالك بانّهم قالوا) kata ini merupakan isyarat (kata tunjuk) jauh sebagai peringatan dengan perbuatan yang melebihi batas dalam keburukan dan kerusakan, khususnya perbuatan buruk orang Yahudi merampas harta orang lain. Sebagaimana tertulis dalam ayat 75.
2. Sedangkan masih pada ayat 75 ungkapan (ليس علينا فى الامّيّين سبيل) dalam kalimat itu ungkapan ijaz bil hadzfi (kebolehan menghilangkan/menghabiskan) yaitu tidak ada dosa-dosa bagi kamu memakan harta orang-orang ummi. Perkataan orang Yahudi yang cukup panjang tapi diungkapkan secara ringkas dalam redaksi diatas.
3. (يشترون بعهد الله) kalimat ini mengandung isti’arah meminjam lafadz (الشّرّاء) untuk mendapatkan makna (استبدال) (mengganti). Lafadz (يشترون) tidak dapat diartikan memberi karena tidak mungkin janji itu diperjualbelikan, lafadz tersebut hanya sekedar pinjaman, maka aslinya adalah menukar.
4. (ولا يكلّمهم الله) sebagai kalimat majaz dari kemarahan dan kebencian Allah atas mereka (yang menukar janji kepada Allah), begitupula dalam kalimat berikutnya.
5. (ولا ينظر اليهم) al-Zamakhsyari berkata, “kalimat tersebut adalah majaz dari sikap merendahkan dan kebencian Allah swt terhadap mereka. Karena ada orang yang mengira bahwa manusia memperhatikan (ajakan)-Nya dan memandangnya dengan mata telanjang.
6. Diantara lafadz (اتّقى) dan (المتّقين) jinas al-Isytiqoq (الجناس الاشتقاق) dan antara lafadz (الكفر) dan (مسلمون) merupakan thibaq

f. Faidah
Dalam ayat 75-80 mengandung sebuah ketentuan yang penting diperhatikan , sebagai petunjuk bagi umat Islam dalam berinteraksi. Berikut ini sebuh hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut :
“Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Ibnu ‘Abbas, ‘sesungguhnya kami memiliki bagian dalam peperangan yaitu haarta kafir dzimmiy, berupa ayam dan biri-biri. Ibnu ‘Abbas berkata, ‘siapa yaang dikatakan kalian?’. Mereka menjawab, ‘kami berkata: tidak ada bgain apapun bagi kita’ –mufasir berkata, ‘hal diatas sebagaimana perkataan Ahli Kitab “tidak ada dosa bagi kami terhadap orag-orang ummiy”—sesungguhnya mereka menggunakan harta jizyah (hasil rampasan perang tersebut) tidak halal harta tersebut bagi mereka, kecuali mereka membersihkan dirinya. Penejelasan ini sebagaimana dituturkan Ibnu Katsir”.
Al-Shabuni punya ciri khas dalam menafsirkan ayat, hampir disetiap kelompok ayat beliau selalu memebubuhkan kata faidah. Kata ini sebagai kata kunci sehubungan dengan ayat yang dibahas.

g. Riwayat
Ali al-Shabuni dalam menafsirkan surat Ali Imran ayat 75-80 khususnya ketika menjelaskan Asbab al-Nuzul ayat, beliau menukil sebuah hadits tentang kejadian antara seorang muslim dengan orang-orang Yahudi yang melatar belakangi turunnya ayat, yang berbunyi :
Dari al-Asyats Ibnu Qis berkata : “diantaraku dan diantara orang Yahudi ada bumi maka mereka mendustakan saya, kemudian saya mengadukannya kepada Nabi saw kemudian beliau bertanya kepadaku apakah kamu punya bukti-hujjah?, saya menjawab ‘tidak’, kemudian beliau berkata kepada Yahudi, ‘bersumpahlah’. Saya berkata ‘apabila disumpah, maka ia akan membawa pergi harta saya”. Maka Allah menurunkan ayat (انّ الّذين يشترون بعهد الله)
Ketika al-Shabuni menafsirkan kalimat (ويقولون على الله الكذب وهم يعلمون) pada ayat 75 surat Ali Imran ini tentang perbuatan orang Yahudi yang membohongi Allah sedangkan mereka mengetahui dan sadar mereka telah berdusta. Beliau menjelaskan penafsirannya dengan mengutip sebuah hadits berbunyi :
“Nabiyullah bersabda : ‘musuh-musuh Allah telah berdusta, tidak ada sesuatu pun pada jaman jahiliyah kecuali dau perkara ; amanat yang menyampaia sesuatu kepada kebaikan, dan amanat yang menyampaikan sesuatu kepada keburukan”

h. Ra’yu
Kunci utama penafsiran Ali al-Shabuni dalam mengungkap makna-makna ayat adalah pendapatnya dari sudut bahasa dan sastra (Balaghah) yang dapaa dilihat pada kolom al-Lughah dan kolom Balaghah. Adapun pemkirannya tentang maksud ayat 75-80 surat Ali Imran secara garis besarnya adalha sebagai berikut :
1. Perbuatan orang Yahudi lalim dengan cara berkhianat dan melampaui batas ketika mereka merampas harta orang ummi (Arab) dengna anggapan perbuatan mereka tidak melanggar dan tidak berdosa. Padahal mereka tela berdusta (penafsiran ayat 75)
2. Orang yang berdusta yaitu menukar janji yang diikrarkan untuk membenarkan Nabu Muhammad saw dengan janji palsu, yaitu untuk mendapatkan harta duniawi yang fana (sebagaimana pengakuan Yahudi pada ayat 75, mereka akan dibenci dengan kebencian yang mendalam dan tidak akan mendapat rahmat Allah (penafsiran ayat 77) . Sifat buruk Yahudi lainnya adalah memutar balikan bacaan al-Kitab untuk merubah makna sebenarnya (penafsiran ayat 78)
3. Tidak rasional seorang Nabi yang dianugerahi Allah swt dengan fasilitas kenabian mengajak manusia beribadah kepadanya, akan tetapi yang benar adalah mengajak beribadah kepada Allah dengan membentuknya menjadi insan Rabbaniy. Al-Shabuni mengutip pendapat Ibnu Abbas tentang pengertian Rabaniy, Ibnu Abbas berkata :
“Maksud dari Rabaniy adalah orang-orang bijak, ‘ulama dan orang-orang pemurah dengan nakna : saya tidak mengajak kamu untuk menjadi hamba yang beribadah kepadaku, tetapi saya mengajak kamu agar menjadi ulama, fuqoha yang ta’at kepada Allah”
وَمِنْأَهْلِالْكِتَابِمَنْإِنْتَأْمَنْهُبِقِنْطَارٍيُؤَدِّهِإِلَيْكَوَمِنْأَهْلِالْكِتَابِمَنْإِنْتَأْمَنْهُبِقِنْطَارٍيُؤَدِّهِإِلَيْكَوَمِنْأَهْلِالْكِتَابِمَنْإِنْتَأْمَنْهُبِقِنْطَارٍيُؤَدِّهِإِلَيْكَ
وَمِنْأَهْلِالْكِتَابِمَنْإِنْتَأْمَنْهُبِقِنْطَارٍيُؤَدِّهِإِلَيْكَوَمِنْأَهْلِالْكِتَابِمَنْإِنْتَأْمَنْهُبِقِنْطَارٍيُؤَدِّهِإِل

Pujian Ulama terhadap Kitab Al Shafatu Al Tafasir

1. Dr. Abdul Halim Mahmud (Rektor Universitas Al Azhar)
*Kitab Shafwah Al Tafsir bebas/moderat dari keberfhakan

* Mengambil pendapat ahli tafsir paling shahih

*Berupa ringkasan dan memiliki karakter memudahkan. Apabila seseorang menggunakan dari sebagian akalnya maka sungguh ia tidak akan ragu untuk mengambil kitab ini karena penyusunnya (Al Shabuni) mencurahkantenaga, fikiran untuk menyesuaikan pilihannya dengan mengambil dari kitab-kitab tafsir induk yang bersumberkan kepada ilmu dan bashirah (mata batin)
2. Abdullah bin Humaid (Ketua majlis ta’lim dewan agung Masjidil Haram)
• Penyusun mencurahkan semua ijtihad dalam penyusunan kitab ini
• Penyusun memilih pendapat mufasir yang paling sahih
• Memilih tafsiran yang paling rajah
• Menggabungkan metode tafsir bil ma’tsur dan bil ma’qul
• Pemaparannya dengan menggunakan gaya bahasa yang jelas dan lugas
• Mengambil hadits-hadits yang mudah difahami
• Menyebutkan maksud asas-asas surat dengan ringkas
• Menjelaskan munasabah surat dan ayat
• Menjelaskan sababun nuzul surat dan ayat
• Menjelaskan tafsir ayat per ayat tanpa menjelaskan kandungan I’rabnya
• Mejelaskan kaitan ayat dengan mengambil istinbath
• Menjelaskan makna-makna ayat dari sudut balaghahnya

3. Syaikh Abul Hasan Ali Hasan Al Nadwi
* Kitab tafsir ini menunjukan dari berbagai keleluasaan ilmiyah; mulai dari tafsir, hadits, sirrah dan tarikh. Memudahkan para pembacanya, terutama pada masa sekarang lebih mendekati apa yang dibutuhkan pada pemecahan permasalahan-permasalahan kekinian sehingga orang akan melek terhadap beberapa pendapat , pandangan dan madzhab-madzhab. Oleh sebab itu, kitab ini besar faedahnya, mulya kedudukannya lantaran tidak hanya fikiran yang penulis curahkan melainkan waktu, tenaga, harta dan lain-lain
* Karya ini disusun dengan upaya penilaian ilmu tafsir yang cukup lama sehingga memberikan gambaran yang mendalam dari sisi kualitas tafsirnya

4. Dr. Abdullah ‘Umar Nashif
* Dalam rangka memahami ayat Al-Quran, kehadiran kitab tafsir ini memberikan kemudahan kepada umat dalam penyampaiannya, karena Allah swt telah mencurahkan kepada sahibul kitab ini hidayah taufiq.
5. Sumber-sumber
Dalam upaya menjelaskan maksud-maksud makna ayat dalam kitab tafsirnya ini, beliau mengambil berbagai rujukan dari kitab-kitab tafsir ulama salaf :
• Dalam menjelaskan sisi kebahasaan beliau mengambil beberapa rujukan, seperti: al-Zamakhsyari, tafsir al-Baidlawi, Mu’jam li al-fadz Al-Qur’an milik al-Raghib al-Asfahaniy, al-Harawi, al-Khothobi, Ibn Faris, Tsa’lab, al-Hajjaj, al-Asma’iy, al-Fara’, Bahr al-Muhith, al-Mishbah, Kasyf al-Ma’ani tafsir Ibn Jama’ah, al-Kasyasyaf, Majaz al-Qur’an, Tahdzib al-Lughah, al-Shihah milik al-Jauhari, al-Qomus, al- Shawi ‘ala al-Jalalain, Lisan al-‘Arab, dll
• Dalam menafsirkan ayat beliau mengambil beberapa rujukan, seperti pendapat/fatwa sahabat; seperti Ibn ‘Abbas, tafsir Ibn Katsir dan mukhtasharnya, Tafsir Abu Su’ud, Ashab al-Sunan, tafsir al-Thabari dan beberapa penafsir lain termasuk mufassir yang beliau ruju’ dalam menjelaskan sisi kebahasaan
• Dalam menjelaskan sisi munasabah, diantaranya beliau merujuk tafsir Abu Su’ud
• Dalam menjelaskan sisi balaghah diantaranya beliau merujuk pendapat Sahabat Sa’ad, ulama ahli bahasa, seperti al-Raghib, mufassir, seperti Talkhish al-Bayan milik al-Ridha,al-Futuhat, al-Tafsir al-Kabir, Talkhis al-Bayan, Rawai’ al-Bayan dll
• Dalam sisi sabab al-Nuzul, diantaranya beliau merujuk pendapat sahabat Ibn ‘Abbas, Zad al-Maisir, Asbab al-Nuzul milik al-Wahidi, al-Bukhari dll
• Dalam sisi fawaid, diantaranya beliau meruju’ pada perkataan sahabat seperti Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud;tabi’in, seperti Imam Mujahid, mufassir seperti al-Qurthubiy, al-Qusyairiy, Mahasin al-Ta’wil, tafsit al-Qasimi, al-Tashil fi ‘Ulum al-Tanzil, Irsyad al-‘Aql al-Salim, al-Tashil milik Ibn al-Jizi, al-Tahqiq al-Mufashal, al-Dur al-Mantsur, Ibn al-Mardawaih, al-Bazar, al-Thabrani dll

C. KECENDERUNGAN TEOLOGIS
Mengingat penulis kitab shafwatu Al-Tafasir adalah seorang ulama yang hidup pada masa dimana aliran-aliran teolog telah ada (sementara belum muncul lagi aliran teolog yang baru), maka sudah dipastikan aliran pemahaman teologisnya akan mengikuti atau sefaham dengan para aliran teolog pendahulunya. Dibawah kami akan cantumkan beberapa ayat Al-Quran yang mendeskripsikan arus pemikiran faham teologi keberfihakannya.

1. Tentang Dosa Besar (Q.s Al- Maidah 44, 45 dan 47)

Ayat ini beliau tafsirkan; “Barang siapa yang bertahkim dengan selainsyari’at Allah maka orang tersebut adalah kafir”

Ayat ini beliau tafsirkan : “yaitu orang-orang yang berlebih-lebihan dalam kedzaliman untuk menyalahi syari’at Allah”

Ayat ini beliau tafsirkan : “orang yang sengaja keluar dari iman dan keta’atan terhadap Allah”.

2. Tentang pahala dan siksaan (Qs. Al-Nisa : 116, 123 dan 124)
•
Ayat ini beliau tafsirkan : “Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain syirik kepada orang yang dikehendaki-Nya”.

Ayat ini beliau tafsirkan : “ barang siapa yang berbuat dosa maka ia pasti akan mendapat siksaan dalam batas waktu yang lama atau dekat”
•
Ayat ini beliau tafsirkan : “barang siapa yang melakukan amalan-amalan shaleh baik laki-laki maupun perempuan dengan syarat iman, niscaya Allah akan memebalasnya dengan surga dengan tidak akan diingkari balasan tersebut; membalas dengan balasan yangspele. Sebab Allah memiliki sifat al-Ramanal-Rohim”

3. Tentang sifat Tuhan(Qs. Al- An’am : 103 : )

Ayat ini beliau tafsirkan : “ayat ini menafikan kemampuan akal manusia untuk dapat mengetahui Tuhandan ayat ini pula tidak menafikan manusia dapat melihat Allah. Oleh sebab itu Allah swt tidaklah berfirman : “la tarohu al abshar”. Maka barang siapa yang meyakini manusia tidak dapat Allah pada hari kiamat nanti seperti pemahaman Mu’tazilah maka ia telah menjauh dari kebenaran dan menyesatkan karena telah menyalahi dalil dalil Quran dan Sunnah Mutawatir. Yang menyalahi Al-Quran adalah bertentangan dengan ayatوجوه يومئدناضرة . الى ربها نا ظرة sedangkan hadits mutawatirnya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam al- Bukhori
انكم سترون ربكم كما ترون هدا القمر لا تضا مون فى رؤيته…….. ”
Dari ketiga tema pembahasan diatas kita belum bisa berasumsi final terkait kecenderungan paham beliau dalam urusan teologi mengingat tidak terdapatnya perbandingan antara sesama paham dalam aliran teologi yang telah ada. Dibawah kami sajikan data-data berupa perbandingan tafsir beliau dengan pemahaman aliran paham teologi, yaitu sebagai berikut:

D. KECENDERUNGAN FIQIH
Sebagaimana diketahui, fikih memebicarakan banyak hal terkait perkembangan ibadah yang telah jelas nashnya didalam Al-Quran dan As Sunnah, namun diantaranya masih terdapat ruang untuk bisa ijtihad terhadapnya.Disini para fuqoha banyak melakukan kajian secara mendalam, sehingga diantaranya terlahirlah berbagai macam aliran seiring perbedaan manhaj dan thuruq yang mereka lakukan, dan pada perkembangannya, upaya fuqoha ini menjadi madzhab yang berdiri diatas khazanah ilmu-ilmu ke-Islaman. Sebagaimana diatas, disisnipun akan disajikan beberapa penafsiran beliau terkait ayat-ayat yang dipandang padanya mengandung fiqih, serta kalaupun juga dimungkinkan aspek kecenderungan aliran fiqih beliau. Yaitu sebagai berikut :
1. Tentang Basmalah, apakah ia termasuk bagian ayat dalam Al-Quran?
Dalam membahas maslah ini beliau mengemukakan tiga pendapat imam madzhab :
a. Syafi’iyah
Syafi’iah beristidlal dengan dalil-dalil naqli dan aqli yang menyatakan bahwa basmalah termasuk kedalam surat alfatihah dan semua surat dalam Al-Quran kecuali surat al Taubah. Dalil-dalil naqli tersebut adalah :
Pertama :hadits yang diriwayatkan Imam Daroquthni yang diterima dari sahabat Abu Hurairah, Nabi saw bersabda : “apabila kalian membaca “Alhamdulillahi robb al‘alamin” maka bacalah “Bismillahirrahmaniorrahim” karena sesungguhnya ia UmmuAl-Quran, Ummual-Kitab, Sab’u al-Matsani. Dan Bismillahirrahmanirrahim adalah salah satu ayat yang termasuk kedalamnya”.
Kedua, hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi yang beliau terima dari sahabat ibnu Abbas ra, beliau menerangkan bahwasanya Rosulullah saw memulai shalat dengan Bismillahirrahmanirrahim”
Ketiga, hadits yang diriwayatkan dari Imam al-Bukhori yang diterima dari sahabat Anas ra bahwasanya beliau ditanya tentang bacaan Rosulullah saw, beliau menjawab :“adalah bacaan beliau bernada panjang-pnjang……” lantas beliau membacanya (Bismillahirrahmanirrahim*alhamdulillahirabbilalamin*arrahmanirahim*malikiyaumidin)
Keempat, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, al-Nasai, al-Turmidzi dan Ibn Majah dari sahabat Anas ra. ; “suatu hari kami bersama Rasululloh saw, lantas beliau menengadahkan kepalanya sambil tersenyum. Kami bertanya :’ apa yang membuat anda tersenyum wahai Rasululloh?’, beliau menjawab ‘telah turun surat kepadaku barusan’, lantas beliau membaca :’
بسم الله الرحمن الرحيم .”
Adapun dalil ‘aqli yang dijadikan hujjah oleh syafi’iyah adalah : mushaf al Imam dituliskan padanya basmalah pada surat al-fatihah dan semua surat dalam Al-Quran kecuali surat al-Taubah, demikian pula basmalah dicantumkan dalam mushaf-mushaf yang disebar keberbagai Negara, dengan asumsi bahwa mutawatir hukumnya, bahwa dikalangan para sahabat sepakat untuk tidak menuliskan sesuatu dalam Al-Quran yang selain Al-Quran…..
b. Malikiyah
Mereka beristidlal bahwa basmalah bukan termasuk ayat dalam surat al-fatihah, dan bukan pula termasuk dalam surat diseluruh Al-Quran, hanya saja penulisan basmalah tersebut berupa “tabarruk” (meminta berkah). Beliau mengemukakan beberapa dalil :
Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat ‘Aisyah ra, beliau berkata : “ adalah Rosululloh saw memulai shalat dengan takbir, dan membaca ‘Alhamdulillahirobbilalamin’”
Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Shahihain dari sahabat Anas ra, beliau berkata : “aku shalat dibelakang Rosululloh, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, mereka memulai bacaan shalat dengan ‘Alhamdulillahirobbilalamin’”
c. Hanafiyah
Golongan Hanafiyah memandang bahwa pencantuman basmalah pad mushaf menunjukan bahwa ia adalah termasuk bagian Al-Quran, akan tetapi tidak menunjukan ia merupakan bagian ayat dalam seluruh surat pada Al-Quran. Beberapa hadits yang menunjukan tidak dijaharkannya basmalah ketika membaca alfatihah pada shalat jahar itu menunjukan bahwa ia bukan termasuk alfatihah. Mereka mengambil kesimpulan bahwa basmalah termasuk ayat yang sempurna yang merupakan bagian dari ayat Quran, sementara selain pada surat Al-Naml hanyalah merupakan Fa\silatu al suwar. Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan dalil :
Pertama, hadits riwayat abu Daud dari beberapa orang sahabat, mereka berkata : “kami tidak mengetahui ketentuan untuk surat-surat sehingga turun ayat “bismillahirrahmanirrahim”
Kedua, hadits riwayat imam al hakim dan abu Daud dari ibnu Abbas ra, : “bahwasanya keadaan Rosulullah saw tidak mengetahui fashilah surat-surat sampai turun ayat “bismillahirrahmanirrahim”
Pada kasus ini Ali al-Shabuni lebih cenderung kepada madzhab Hanafiyah. Pengakuan ini dapat kita lihat dalam kitab Rowai’ul Bayan Tafsiru Ayuatil Ahkam Minal Quran,(Beirut : 2002), Daar al-Kutub al-Islamiyyah, cet ke 1, Juz 1, hlm. 40 beliau mengungkapkan :
“setelah dihadirkan beberapa dalil dan istidlal dari setiap kelompok madzhab, maka kami berkesimpulan : semoga apa yang menjadi pendapat Hanafiyah adalah pendapat yang paling rojih dari pendapt-pendapat yang lainnya, karena ia merupakan penengah dari dua pendapat sebelumny yang berlawanan”
2. Tentang maksud had dzimmi muhson
Dalam pembahasan ini beliau hanya mengemukakan dua pendapat saja :
a. Hanafiyah
Pertama, Hadits riwayat Ishaq ibnu Rohawaih dan al Daroquthni dari sahabat Ibn‘Umar, tentang: “ barang siapa yang musyrik kepada Allah maka tidak termasuk kategori muhson, para sahabat berkata : yang disebut dengan muhson adalah “al rojmu” (rajam). Adapun nabi pernah merajam para yahudi adalah berdasarkan hukum taurot”.
Kedua, mereka beristidlal juga bahwa ihson alqodzfu (dalam Islam) disepakati secara ijma, demikian pula ihson al-rojmi.
Ketiga, mereka berpendapat, bahwa menyempurnakan nikmat hak sesamamuslim adalah lebih agung, maka oleh sebab itu hukum perdata lebih ditekankan dan balasannya pun diperberat. Mereka beristidlal dengan ayat “wahai istri-istri Nabi barang siapa diantara kalian yang melakukan kejelekan yang nyata maka kelak akan mendapat balasan yang berlipat ganda”
b. Syafi’iyah
Pertama, mereka beristidlal dengan umumnya sabda nabi :”apabila mereka menerima jizyah maka jizyah itu untuk mereka bukan untuk kaum muslimin, dan demikian juga dosanya untuk mereka dan bukan untuk kaum muslimin”
Kedua, tentang hadits :”barang siapa yang musyrik kepada Allah maka bukan termasuk muhson”. Hanya saja yang dimaksud dengan muhson diatas adalah bukan menerangkan siksaan untuk qodzaf musyrik sebagaimana wajib memperlakukan terhadap qodzaf muslim yang lemah.
Ketiga, sesungguhnya pezina kafir sebagaimana yang berzina dari kalangan muslim dalam hal membutuhkan al jzru, oleh sebab itu maka ia pun dirajam.
Pada pembahasan ini, Ali Al Shabuni mengambil pendapat Imam al-Syafi’i. Beliau mengatakan :
“semoga apa yang menjadi pendapat Syafi’iyah lebih rojih dikarenakan kuatnya dalil-dalil mereka tentang perbuatan Rosul merajam orang Yahudi”.
Wallahu ‘alam

Maroji’
1. Al-Qur’an
2. Ali al-Shabuni Muhammad, Shafwah al-Tafaasir, Tafsir li Al-Qur’an al-Karim, (Beirut : 2002), Daar al-Kutub al-Islamiyyah, cet ke 1
3. Ali al-Shabuni Muhammad,Rowa’I al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min Al-Qur’an, (Jakarta : 2001), Daar al-Kutb al-Islamiyyah, Cet ke 1
4. Ash-Shiddieqy M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta : 1954), Bulan Bintang, cet ke 10
5. Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/ Tafsir,(Jakarta : Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Dosen Tafsir Hadits, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: 2003), TERAS
6. Suparta., M.A Drs. Munzier,Ilmu Hadits, (Jakarta ; 2006), Rajawali Pers cet ke 1
7. Nur al-Din ‘Itr Dr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Bandung : 1981), Daar al-Fikr, cet ke 3
8. Al-Shan’aniy, Subul al-Salaam, (Bandung : tt), Maktabah Dahlan, juz ke 1
9. abahmarasakti1954), Bulan Bintang, cet ke 14
10. .wordpress.com/…/perbandingan-aliran-tentang-dosa-besar-sifat-allah-perbuatan-manusia-dan-keadilan-allah/ –
11. http://www.akidahqu.co.cc/…/mutazilah-asal-usul-dan-ide-ide-pokok.html
12. .http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=22
13. Artikel PDF (ZIP)
14. Maktabah Syamilah, CD
15. http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1105&bagian=0
16. http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=4